Cinta Sejati Pak Harto dan Ibu Tien


Cinta sejati itu ada, buktinya ya kedua tokoh ini. Berawal dari segala ketidakmungkinan, tapi bisa disatukan. Bahkan perpisahan mereka pun bukan karena bercerai Tapi kematian lah yang memisahkan. Sang Ibu negara meninggal pada tahun 1996, 12 tahun kemudian, tepatnya di 2008 sang Prajurit, sosok yang paling dihormati seorang Siti Hartinah sang ningrat, akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Pak Harto adalah pribadi yang sangat mempercayai keyakinan diri dan masukan keluarganya. Karena itu posisi Ibu Tien sangat menentukan dalam beberapa keputusan penting. Antara lain saat Pak Harto memutuskan terus menjadi tentara saat ia merasa mengalami badai fitnah pada tahun 1950-an. Pak Harto nyaris berhenti dan ingin menjadi petani atau supir taksi pada saat itu.


“Saya dulu diambil istri oleh seorang prajurit dan bukan oleh supir taksi. Seorang prajurit harus dapat mengatasi setiap persoalan dengan kepala dingin walaupun hatinya panas,”. Saran Ibu Tien.



Awal mula pertemuan Pak Harto dan Ibu Tien adalah ketika keduanya bersekolah di Wonogiri. Dari sini tanda-tanda keduanya adalah jodoh mulai kentara.

Pak Harto adalah kakak tingkat Ibu Tien, sedangkan ibu negara kedua tersebut satu kelas bersama Sulardi, adik sepupu Pak Harto. Pak Harto sendiri tidak pernah diceritakan naksir Ibu Tien ketika masih muda. Justru Ibu Tien yang memberikan tanda-tanda kalau ia menaruh hati. Lewat percakapan dengan maksud mengolok Sulardi, ibu negara ini pernah bilang kalau adik Pak Harto itu kelak akan jadi adik iparnya. Kita tentu sudah tahu maksud ini, kan?
Selepas dari sekolah, keduanya kemudian terpisah jarak serta waktu yang jauh dan lama. Hingga akhirnya mereka dipertemukan lagi, kali ini bersama-sama berjuang demi bangsa. Pak Harto menjadi seorang tentara, sedangkan Ibu Tien tergabung dalam organisasi perjuangan perempuan, seperti Laswi (Laskar Wanita Indonesia) serta Palang Merah Indonesia.

Meskipun berjuang bersama, jangan bayangkan Pak Harto dan Ibu Tien terlibat situasi epic seperti adegan Song Hye-kyo dan Song Joong-ki. Tidak ada romansa-romansa seperti itu. Keduanya mungkin bahkan tidak berada di tempat yang sama. Namun mereka berjuang demi kemerdekaan, demi kita juga yang terlepas dari penjajahan hari ini.

Perjodohan Sang Prajurit

Tentara yang masih muda serta tampan itu kini bertambah umurnya, sang bibi dan pamannya mengingatkan bahwa hidup ini bukanlah tentang berjuang semata, melainkan juga ada pernikahan yang menghiasi.



Lewat sebuah obrolan singkat, istri Prawirowiardjo yang merupakan adik Pak Karto, ayah Pak Harto, menawari sang ponakan untuk dijodohkan.

“Baiklah, Bu,” ucap Pak Harto. “Tapi, siapa yang patut saya pinang,” lanjutnya.

Sejurus kemudian sang bibi langsung membalas, “Kau sudah kenal dengan gadis itu. Ingatkah kau pada Hartinah?” Pak Harto tak mungkin lupa.

Sebongkah senyum pun berkembang di wajahnya, namun buru-buru hilang dengan keraguan, “Tapi, Bu, apakah orang tuanya akan setuju? Saya orang kampung biasa. Dia orang ningrat..”

Ucapan ini dibalas sang bibi dengan singkat namun meneguhkan Pak Harto. “Keadaan sudah berobah, nak,” ungkap sang bibi.

Pak Harto masih sedikit ragu atas ide bibi dan pamannya, mengingat saat itu di Jawa memang hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mengawini putra putri pembesar. Tapi, sang bibi tidak pernah berdusta. Siapa yang menyangka jika lamaran Pak Harto diterima oleh Hartinah. Sang presiden pun terhenyak namun memendam gempita bahagia luar biasa.
Sebenarnya sebelum dilamar Pak Harto, Ibu Tien ternyata sudah berulang kali menolak pinangan para pemuda dan pria-pria terpandang. Lalu kenapa pada akhirnya Ibu Tien memilih Pak Harto? Dalam buku yang ditulis O.G. Roeder,  ternyata alasan Siti Hartinah sangat remeh namun berarti. “Ia (Ibu Tien) telah mendengar tentang sang prajurit ini dari teman-teman anggota palang merah.”

Pernikahan Yang Sederhana

26 Desember 1947 jadi tanggal penting bagi Pak Harto dan Ibu Tien. Kedua pemuda pemudi pemalu ini akhirnya diikat oleh sebuah pernikahan. Semua pihak menerima baik pernikahan ini, meskipun sempat Pak Harto minder gara-gara status Ibu Tien yang ningrat. Hanya saja, meskipun salah satu mempelai adalah pembesar, pernikahan ini dilakukan dengan prihatin.

Saat itu Belanda masih sibuk dengan agresi-agresinya. Maka agar tidak mengundang perhatian mereka, pernikahan ini dilangsungkan sangat sederhana. Bahkan katanya pencahayaan pun dari lilin-lilin saja. Meskipun begitu, suasana pun khidmat luar biasa. Akhirnya resmi lah pernikahan keduanya, meskipun tanpa foto ataupun cerita-cerita soal mas kawin apa yang diberikan Pak Harto kepada istri tercintanya itu.

Penutup

Penegasan Pak Harto mengenai kesetiaan beliau kepada Ibu Tien

"Hanya ada satu Nyonya Soeharto dan tidak ada lagi yang lainnya. Jika ada, akan timbul pemberontakan yang terbuka di dalam rumah tangga Soeharto"


*) Dari berbagai sumber

Diberdayakan oleh Blogger.