Jejak Kaum Yahudi di Indonesia
Di Indonesia saat ini telah dibentuk "The United Indonesian Jewish Community" (UIJC) oleh komunitas Keturunan Yahudi Indonesia.[6] Organisasi ini sudah dibentuk sejak tahun 2009, tapi baru diresmikan pada bulan Oktober tahun 2010.
UIJC ini dipimpin oleh keluarga Benjamin Meijer Verbrugge (Ibu Meijer Coen).Rabi Benjamin memperoleh pentahbisan kerabiannya pada Rodfei Kodesh Jewish Learning Insitute di Chicago, Amerika Serikat tahun 2013 dan pada Rabi Chasidic Joseph H. Gelberman Rabbinical Seminar International New York, Amerika Serikat tahun 2015.
Menurut sumber dari UIJC saat ini keturunan Yahudi di Indonesia yang sudah diketahui hampir mendekati 5.000-an orang.Dengan jumlah mendekati 2000 orang terdapat di Maluku, komunitas Yahudi tersebar hampir merata di seluruh Indonesia, bahkan ada di Aceh, Sumatra Utara & Sumatra Barat. Di Sulawesi Utara ada potensi sampai 800-an orang, di Jakarta diperkirakan lebih dari 200-an orang dan di Surabaya terdapat keturunan Yahudi yang juga cukup banyak jumlahnya. Selain itu anggota UIJC juga ada yang berasal dari daerah lain, di antaranya Lampung, Tangerang, Bekasi, Cirebon, Bandung, Semarang, Solo, Cilacap, Yogyakarta, Bali, Maluku, dan Papua. Umumnya mereka adalah keturunan campuran antara Indonesia dengan Yahudi Belanda, Jerman, Belgia, Irak, dan Portugis. Meski demikian, bukan berarti anggota UIJC harus beragama Yahudi,karena organisasi ini hanyalah sebagai paguyuban warga keturunan Yahudi di Indonesia.
Begitu juga ada yang Keturunan Yahudi yang berasal dari Spanyol, Portugal, Belanda dan Inggris di Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua yang juga cukup banyak jumlah-nya. Dan hingga tahun 2016, anggota UIJC yang sudah terdata adalah sekitar 116 orang di seluruh Indonesia.
Masuknya Agama Yahudi atau Judaisme di Indonesia masih menjadi perdebatan beberapa ahli. Namun, satu yang jelas dan tidak bisa ditampik lagi. Mereka datang dengan Belanda saat kompeni itu menjajah negeri ini, Kaum Yahudi itu kebanyakan datang sebagai perdagangan yang menjajakan produk yang mereka jual kepada orang Belanda di Tanah Air atau kepada perdagangan lain yang singgah.
Di masa lalu, Pemerintah Kolonial Belanda mengakui agama ini sebagai agama resmi. Seiring dengan berjalannya waktu, mereka juga dianggap sebagai sekutu yang penting hingga akhirnya Jepang tiba dan membuat para Yahudi itu dikumpulkan untuk dijadikan tahanan perang.
Di masa kolonial, warga Yahudi ada yang mendapat posisi tinggi di pemerintahan. Termasuk gubernur jenderal AWL Tjandra van Starkemborgh Stachouwer (1936-1942). Pada masa itu kaum Yahudi di Indonesia memiliki persatuan yang kuat. Setiap Sabat (hari suci umat Yahudi), mereka berkumpul bersama di Mangga Besar, yang kala itu merupakan tempat pertemuannya.
Menurut majalah Sabili, dulu Surabaya merupakan kota yang menjadi basis komunitas Yahudi, lengkap dengan sinagognya yang hingga kini masih berdiri. Mereka umumnya memakai paspor Belanda dan mengaku warga negara kincir angin.
Menurut Romi Zarman peneliti sejarah Yahudi di Indonesia dan penulis buku Di bawah kuasa Antisemitisme. Kehadiran orang Yahudi ke Indonesia memiliki sejarah panjang dan mereka datang dalam tiga gelombang.
Pada awal abad 10 orang, Ishaaq Yehuda seorang Yahudi Oman berdagang di Sumatra dan tewas dirampok di wilayah kerajaan Sriwijaya. Tiga abad kemudian, lewat dokumen Geniza, diketahui bahwa seorang Yahudi Mesir berlabuh dan berdagang di Barus, Pesisir Barat Sumatra.
"Kehadiran orang Yahudi di negeri ini pertama-tama tampak didorong motivasi ekonomi berdagang, namun pada abad ke-16, dalam era Portugis, kehadiran Yahudi juga dilengkapi aspek lain di mana Politik Inkuisisi di Spanyol telah membuat Yahudi terusir," jelas Romi kepada BBC News Indonesia.
Kelompok ini menurut Romi bermigrasi di antaranya ke Asia. Kelompok ini ditemukan berdiam di Malaka. Gelombang kedua kedatangan orang Yahudi ke Indonesia terjadi pada 1602 sampai masa kolonial Belanda pada 1819.
Menurut Romi, sebagian besar mereka merupakan Yahudi Separdi, yang memiliki kemampuan berbahasa Arab dan menjadi penerjemah bagi perusahaan dagang Vereenigde Oost-Indsich Compagnie (VOC) dan British East India Company (EIC), terutama di Aceh dan Banten.
"Sementara, Yahudi Askenazi (Eropa Timur) kebanyakan berkerja sebagai administrator dan ada yang tergabung dalam barisan serdadu VOC, adapun Yahudi Mizrahi (Timur Tengah) giat dalam bisnis dan menjalin kerjasama dengan siapa saja," kata Romi.
Orang Yahudi yang datang ke Indonesia bukan hanya penganut Yudaisme, namun juga terdiri dari Yahudi Arab beragama Islam yang bermigrasi bersama-sama dengan rombongan Arab.
Dalam penelitiannya, Romi bertemu dengan salah seorang keturunan Yahudi Arab dan menemukan mereka berkontribusi dalam penyebaran agama Islam di Nusantara.
Dalam catatan Romi, pada awal 1920an, orang-orang Yahudi ini antara lain tersebar di Kutaraja, Padang, Medan, Deli, Batavia, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya. Jejak peninggalan mereka saat ini masih dapat dilihat dari makam beraksara Ibrani seperti di Peucut Aceh, TPU Pertamburan Jakarta, Kembang Kuning Surabaya dan Manado.
"Komunitas Yahudi Surabaya adalah model terbaik dalam sejarah Yahudi di negeri ini. Upaya-upaya pembangunan Sinagog oleh Komunitas Yahudi Surabaya sudah dimulai sejak tahun 1923, jauh sebelum didirikannya Vereeniging voor Joodsche belangen in Nederlansch-Indie (Perhimpunan Yahudi di Hindia Belanda)," jelas Romi.
Kehidupan komunitas Yahudi di Surabaya
Pasangan Eli dan Florence Dwek yang menghabiskan masa anak-anaknya di Surabaya, menyebutkan pemerintah kolonial Belanda lebih terbuka pada komunitas Yahudi, sehingga mereka dapat menikmati kehidupan yang mewah, seperti ditulis dalam The Demise of the Jewish in Surabaya.
Ayah Eli yang berasal dari Yerusalem bermigrasi ke Hindia Belanda pada 1920 untuk menemani kakaknya yang menikah dengan seorang Yahudi di Surabaya. Namun kehidupan mewah itu terhenti setelah meletusnya Perang Pasifik. Ketika itu banyak orang Yahudi di Surabaya dipenjara dan dijebloskan ke kamp oleh tentara Jepang.
Setelah Jepang kalah dari pasukan sekutu di akhir Perang Dunia II, para tahanan termasuk orang-orang Yahudi di Indonesia dibebaskan.
Pasukan sekutu juga mengembalikan properti dan bisnis komunitas Yahudi di Surabaya, meski begitu banyak dari mereka pindah ke negara lain diantaranya Australia. Dalam kondisi hamil, Ibu Eli kembali ke Yerusalem dan melahirkan Eli pada 1946. Ketika berusia tiga tahun dan situasi telah kembali aman, Eli dan ibunya kembali ke Surabaya.
Di masa kecil di Surabaya, Eli mengatakan seringkali merayakan pesakh dan Rosh Hashana dengan makan malam di kediaman Charlie Mussry yang merupakan pemimpin komunitas Yahudi Irak di Surabaya. Di kediaman Mussry pula seringkali digelar acara perkawinan Yahudi.
Pada 1949, komunitas Yahudi membeli sebuah rumah di Jalan Kayun, yang diubah menjadi sinagoga satu-satunya di Indonesia.
"Sinagoga kami merupakan pusat dari kehidupan sehari-hari orang Yahudi- anak-anak dan orang dewasa belajar Torah, menjalankan ibadah Sabat, berkumpul di sebuah Sukkah, dan bersenang-senang dalam pesta kostum Purim," kata Eli dalam The Demise of the Jewish in Surabaya.
Dalam catatan Eli dan Florence, situasi memburuk ketika Presiden Soekarno mengobarkan semangat nasionalisme dan membuat warga Eropa banyak meninggalkan Indonesia.
Dua tahun kemudian, ketika berusia 12 tahun, Eli dan keluarga Dwek pun meninggalkan Indonesia untuk pindah ke Israel. Sementara Florence Judah dan keluarganya pindah ke AS. Setelah dewasa Eli Dwek bertemu Florence Judah di Israel dan menikah di Los Angeles AS.
Saat Abdurahman Wahid alias Gus Dur menjabat sebagai presiden keempat, situasi politik dan sosial lebih terbuka. Keturunan Yahudi pun mulai terbuka mengenai jati dirinya.
"Di zaman itu banyak keturunan Yahudi mulai keluar 'dari persembunyiannya' salah satunya David Abraham pengacara keturunan Yahudi Irak, mulai bicara ke publik bahwa saya Yahudi," jelas Elisheva.
Setelah kembali ke Yudaisme, Elisheva selalu terbuka pada setiap orang mengenai identitasnya, dan dia mengaku tidak pernah mendapatkan pandangan negatif dari orang-orang di Indonesia ketika menyebut dirinya seorang Yahudi.
Sinagoga dan Menorah Terbesar di Dunia
Karena tidak memiliki jumlah pemeluk yang banyak, jumlah sinagoga atau tempat ibadah pemeluk Yahudi hanya ada dua. Sinagoga pertama berdiri di kawasan Kota Pahlawan Surabaya dan sinagoga kedua berdiri di kawasan Tondano yang berjarak sekitar 35 kilometer dari Manado yang merupakan ibu kota dari Sulawesi Utara.
Selain berdiri Sinagoga yang digunakan sebagai tempat ibadah, di Manado juga didirikan Menorah yang memiliki tinggi hingga 19 meter. Menorah yang merupakan simbol suci dari orang Yahudi ini berdiri dengan kokoh di kawasan pegunungan sehingga selalu tampak dari kejauhan. Pemerintah Sulawesi Utara melindungi pemeluk Yahudi di sini sehingga semua pemeluk agama ini bisa beribadah dengan baik.
Upaya Yahudi Menjadi Agama Resmi di Indonesia
Saat ini Indonesia memiliki enam agama resmi yang diakui oleh pemerintah. Konghuchu yang awalnya belum diakui sudah mulai dimasukkan mengingat etnis Tionghoa di Indonesia cukup banyak. Melihat keadaan ini pemeluk Yahudi juga berusaha menjadi agama resmi meski sudah pasti ditentang osumber: BBC Indonesia, Republika,Sabilileh banyak orang di Indonesia.
Selama ini pemeluk agama Yahudi tidak pernah diakui identitas agamanya. Di dalam KTP yang mereka miliki, mereka masih dianggap sebagai Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Mereka ingin diakui pemerintah Indonesia lantaran sebagai minoritas menurut mereka, mereka kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif.
sumber: BBC Indonesia, Republika,Sabili
Leave a Comment